HUKUM WANITA BERZIARAH KUBUR

Wanita melakukan ziarah kubur hukumnya adalah makruh, bukan haram (Lihat As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142; Zakariya Al-Anshari,  Fathul Wahhab, I/100; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, I/170). Jadi, wanita yang berziarah kubur tidak berdosa, tetapi sebaiknya wanita tidak melakukannya.

Dalilnya adalah hadits Nabi SAW riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas RA bahwa Nabi SAW pernah melintasi seorang wanita yang sedang menangis di dekat kubur anaknya. Lalu Nabi SAW berkata kepada wanita itu,”Bertakwalah kamu kepada Allah, dan bersabarlah!”

M. Taufik. N.T
Perbedaan pendapat merupakan suatu kemestian dalam kehidupan manusia. Namun kita perlu berhati ketika menyikapi perbedaan tersebut, terutama dalam masalah ‘aqidah, yakni dalam masalah pengkafiran, juga dlm masalah pen-sesat-an. Rasulullah saw bersabda: 


 إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

"Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut, jika benar maka seperti apa yg dikatakan, namun jika tidak benar maka (tuduhan itu) kembali kepada dia (penuduh)” (HR. Bukhory dan Muslim).
Imam Muslim juga meriwayatkan: “Siapa yang memanggil seorang dengan kekufuran (menuduh kufur), atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”. (HR. Muslim no 93)

Tulisan ini akan membahas tentang makna ‘aqidah dan metode menetapkan ‘aqidah, sebagian besar merujuk pada kitab, Al Islam, Aqidah wa Syari’ah, karya Syaikh Al Azhar, Prof. Dr. Mahmud Syaltut (w. 1963).

Definisi ‘Aqidah
العقيدة هي الجانب النظري الذي يطلب الايمان به اولا و قبل كل شيئ ايمانا لا يرقِّق اليه شكٌ ولا تؤثِّر فيه شبهةٌ
“Aqidah ialah segi pandang (keyakinan) yang harus dipercaya lebih dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan kepercayaan yang tidak dapat dilemahkan oleh keraguan dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran (syubhat).
Para ahli ushul mensyaratkan bahwa dalam aqidah kepercayaannya harus sampai derajat al ‘ilmu/al yaqin, yakni keyakinan bahwa sesuatu adalah demikian, dg keyakinan bahwa tidak mungkin kalau tidak demikian, sesuai dg fakta dan tidak mungkin berubah[1].
Oleh karena itu, tema pembahasan ‘aqidah yang difahami oleh para ahli ushul adalah tema yang memisahkan antara Iman dan Kafir tanpa ada keraguan sedikitpun, dengan kata lain menolak satu perkara ‘aqidah akan menyebabkan kekafiran.

Metode Penetapan Aqidah[2]

Para ‘ulama telah sepakat, bahwa dalil ‘aqliy akan menghasilkan keyakinan jika selamat awalnya dan berujung dengan keputusan lewat penginderaan.
Sedangkan dalil naqliy (penukilan), para ulama yang berpandangan bahwa dalil naqly menghasilkan keyakinan, dan menjadikannya hujjah untuk menetapkan masalah ‘aqidah, mereka mensyaratkan adanya kepastian dalam sumber (qath’iy wurud) dan penunjukkan makna (dalâlah)nya.
Yang dimaksud qath’iy wurud (pasti sumbernya) adalah bahwa dalil tersebut pasti berasal dari Rasulullah saw tanpa ada kesamaran (syubhat) sedikitpun. Dalil naqliy yang bisa memenuhi persyaratan ini hanyalah dalil-dalil yang diriwayatkan secara mutawatir[3].
Yang dimaksud dengan qath’iy dalalah (kepastian dari sisi maknanya) adalah bahwa makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut pasti (muhkam), hanya menunjuk ke satu makna saja, dan tidak membuka ruang adanya penafsiran atau takwil. Sebagai contoh Firman Allah:

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Dia (Allah) tidak beranak dan tidak diperanakkan (QS. Al Ikhlas:3).
Karena dalil ini diriwayatkan secaramutawatir (AL Qur’an), dan penunjukan maknanya juga pasti, maka ini menjadi hujjah dalam perkara aqidah yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan.

Adapun perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau sumbernya qath’iy akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan masih diperdebatkan oleh para ‘ulama, maka perkara-perkara tersebut tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan. Perkara-perkara semacam ini banyak jumlahnya, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama. Sebagai contoh Imam Ibn al-Khathib, dalam tafsirnya menyatakan, bahwa para ‘ulama berbeda pendapat tentang surga yang dihuni Nabi Adam dan Hawa. Ia terletak di langit ataukah di bumi? Sekiranya di terletak di langit, apakah ia surga abadi yang disediakan sebagai balasan amal? Atau, apakah ia surga yang lain? Abu al-Qasim al-Balkhi dan Abu Muslim al-Ashbahani berkata, “Surga dihuni Adam ini terletak di dunia”. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat lain menyatakan, bahwa surga yang dihuni Nabi Adam as terletak di langit tujuh. Sedangkan mayoritas ‘ulama berpendapat, bahwa surga tersebut adalah negeri pembalasan (daar al-jazaa’)[4].

Permasalahan Khabar Ahad

Khabar (hadits) ahad adalah hadits yang tidak sampai kepada derajat mutawatir. Adapun hadits mutawatir didefinisikan sebagai:

خبر عن محسوس رواه عددً جمًّ يجب في العادة احالة اجتماعهم وتواطءهم على الكذب

“Suatu hadits hasil tanggapan panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan sepakat dusta[5]
Mayoritas ulama ushuliyyin, para muhaditsin, dan imam madzhab yang tiga (Imam As Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik r.a), Imam Ahmad dalam satu riwayat, Imam Asnawy dan Imam Bazdawy (w. 482 H), mereka menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan ‘ilm (kepastian) tetapi menghasilkan dzon, ini juga pendapat Imam Al-Ghazali, Imam An Nawawy (w. 676 H), As Sarokhsyi (w. +- 490 H), Khatib Al Baghdady, Ibnu Burhan, Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), Ibnu Hajar Al Asqalany (w. 852H), Imam As Syairozi (w. 476 H), Imam As Sam’ani (w. 489 H) [6] dll.
Pendapat yang berbeda dengan itu, yang menyatakan bahwa khabar ahad “Yufiidul ‘Ilma” (menghasilkan keyakinan)–jika ada indikasi yang memastikannya–dikemukakan oleh sebagian ahli hadits termasuk Ibnu Hajar Al-Asqalany (w. 852H) menurut berita yang lain[7], Ibnu Shalah[8], Ibnu Hazm[9], Ibnu Taimiyah[10], dll.

Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), dalam kitab المسودة في أصول الفقه menyatakan:
اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل: هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل دون العلم؟ قال: والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه
Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid (yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh.
Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan: 

… وَاخْتُلِفَ فِي حُكْمِهِ ؛ فَاَلَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِير الْمُسْلِمِينَ مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ : أَنَّ خَبَر الْوَاحِد الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا ، وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ

"… dan dipertentangkan hukum khabarul ahad, pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi’iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para shahabat dan tabi’un adalah: khabar ahad yang tsiqqah adalah hujjah syar’iy yang wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan).

As Sarokhsy[11] dalam Kitab Ushul nya menyatakan: “dan khabar ahad (yg tsiqqoh) mewajibkan amal … dan sesungguhnya tidaklah diKAFIRKAN orang yang mengingkarinya karena dalilnya tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan wajib beramal dengannya karena dalilnya mewajibkan untuk di’amalkan…mengingkari khabar ahad (yang tsiqqoh) tanpa dia mendatangkan takwil dihukumi sesat, jika ada takwil atas pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.

Penutup
· Aqidah ditetapkan dengan dalil ‘aqli dan dalil naqly yg mutawatir.
· Terjadi ikhtilaf apakah khabar ahad menghasilkan ‘ilmu yaqin atau tidak
· ‘Aqidah yg dimaksud mayoritas ahli ushul adalah pembatas antara IMAN dan KAFIR, maka khabar ahad bukan hujjah dalam perkara aqidah, tidak cukup untuk pembeda IMAN & KAFIR.
· Adapun ‘ulama yg menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam perkara “‘aqidah”, sebenarnya “aqidah” yg mereka maksud bukanlah ‘aqidah seperti yg dibahas para ahli ushul. Mereka memahami aqidah TIDAK MESTI JADI PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR, hal ini jelas terlihat ketika mereka menyalahkan aqidah Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H), pihak ini tidak mengkafirkannya[12], mereka juga menyalahkan aqidahnya Imam An Nawawi (w. 676 H) dalam hal Asma’ was Shifat tanpa mengkafirkan beliau[13], juga menyalahkan aqidahnya al Hafidz al Baihaqi (wafat 458 H) juga tanpa mengkafirkannya[14].
· Khabar ahad yg tsiqqah harus diamalkan dan dibenarkan dg tingkat kepercayaan yg tidak cukup menjadi hujjah untuk menyatakan kekafiran seseorang. Allahu A’lam

[1] Al Jurjâni (w. 816 H), At Ta’rîfât
[2] Diambil dari bab Thorîqu Tsubûtil Aqidah dalam kitab Syaikh Mahmud Syalthut, Islam ‘Aqidah wa Syari’ah
[3] Mahmud Syalthut, Idem, hal 35
[4] Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, al-Thariq Ila al-Jannah, ed.II, 1987, Daar al-Jiil, Beirut, Libanon
[5] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, hal 78
[6] Mahmud Syaltut , idem, Hal 63 – 64
[7] Ahmad Syakir, Al Bahitsul Hadits, hal. 33-34
[8] As Suyuthy (wafat 911 H), Tadribur Rawy, Jld I, Hal. 105-106
[9] Al Amidy, Al Ahkam Fii Ushulil Ahkaam, Jld. I hal. 322, 332, 339
[10] Ibnu Taimiyyah, Al Fatâwâ, jld XVIII, hal : 41
[11] Pada masanya digelari al-Imam al-Ajall az-Zahid Syams al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam), Wafat +- 490 H
[12] Mereka menulis kitab At Tanbih ‘Ala Mukholafaatil Aqdiyyah Fi Fathil Baariy (= peringatan atas penyimpangan aqidah dalam fathul bari), yang ditulis oleh Syaikh Bin Baz, Syaikh Shalih Fauzan, dkk.
[13] sebagian mereka akhirnya menyatakan imam an Nawawi pada akhirnya juga ‘tobat’ sehingga aqidahnya menjadi sama dengan aqidah mereka.
[14] http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=833&bagian=0

INILAH SEGUDANG FAKTA KEMUNGKARAN AKIDAH! SOLUSI APA YANG DISODORKAN DEMOKRASI?

  • Tradisi & Ritual yang Dikenal Masyarakat
  • Praktik-Praktik Perdukunan
  • Program Acara ‘Si Tabung Ajaib’ (TV)
  • Majalah & Buku
  • SMS & Selebaran
  • Pejabat: Jual Agama Demi Istana
Data                       : Dari berbagai sumber valid

Tradisi & Ritual yang Dikenal Masyarakat

Indonesia, dikenal dunia dengan kebudayaannya yang beranekaragam. Dari mulai tradisi daerah, rupa-rupa kuliner hingga upacara-upacara adat menghiasi kehidupan masyarakat Indonesia yang ‘tersohor’ mayoritas muslim. Namun ironisnya, jika dikritisi dan ditakar dengan timbangan Islam, maka akan kita dapati beragam tradisi, keyakinan atau kebiasaan masyarakat di negeri ini yang bertentangan dengan akidah dan syari’at Islam. Penulis catat sejumlah tradisi yang patut dikritisi sebagai berikut

Download E-Book Pengakuan Bandit ekonomi John Perkins



ALKISAH, pada 1971, seorang ekonom yang bekerja pada MAIN Boston diutus untuk mengkaji ke-mungkinan pemerintah Soeharto mendapatkan bantuan dana dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan badan pemberi bantuan AS (USAID). Lembaga konsultan ini diorder mengembangkan sistem kelistrikan terpadu yang dapat dimanfaatkan Soeharto dari kroninya menggerakkan industrialisasi, menambah kekayaan dan memastikan dominasi Ame-rika Serikat di Indonesia.

Di mata Washington saat itu, Jakarta merupakan "pagar" untuk menahan meluasnya paham komunisme di Asia Tenggara. Posisi politik Soeharto yang keras terhadap komunisme segaris dengan kebijakan politik Amerika. Apalagi Indonesia sangat strategis, terutama untuk memasok kebutuhan minyak negeri Paman Sam. Pre-siden Richard M. Nixon meng-inginkan Soeharto melayani Washington seperti halnya Shah Pahlevi di Iran yang melenggang ke tampuk kekuasaan Iran setelah Mossadegh digulingkan.

Ekonom ini dibantu jaringannya di birokrasi berhasil menjerat Soeharto. Dolar pun deras masuk ke tanah air, sehingga membikin Indonesia terjerembab utang luar negeri. Kompensasinya Soeharto memberikan kontrak karya dengan sistem PSA (profit sharing agreement) kepada korporasi asal AS. Hingga saat ini, perusahaan seperti Freeport McMoran hingga ExxonMobil menikmati sumber daya alam Indonesia mulai Aceh, Papua hingga Blok Cepu. Dolar yang dibawa pulang korporasi AS. Itu jauh lebih tebal ketimbang yang masuk ke kas pemerintah.Begitulah sepak terjang John Perkins, seorang the ecomic hitman (bandit ekonomi) yang menyebut "Indonesia adalah korban pertama saya. Bandit ekonomi adalah "umpan" untuk membuka proyek-proyek yang didanai Bank Dunia, IMF dan lembaga keuangan lain di negara-negara berkembang. Tentu saja tak ada "makan siang gratis", karena negara tersebut wajib memberikan proyek itu kepada korporasi-korporasi Amerika Serikat. Dus, mengamankan kepentingan AS dari menyewakan lokasi untuk pangkalan militer atau mendukung negeri adidaya itu dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Ringkas-nya, bandit ekonomi mengabdi pada tujuan membangun imperium Amerika

HUKUM AQAD MURAKKAB ( akad bertumpuk) pada Perbankan Syariah


Penggabungan dua akad atau lebih menjadi satu akad dalam fiqih kontemporer disebut al-uqud al-murakkabah (akad rangkap / multi akad). Menurut penggagasnya, akad rangkap adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Nazih Hammad, Al-Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hal. 7; Abdullah al-Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hal. 46).

Wali Tidak Mau Menikahkan , Bolehkan Nikah Dengan Wali Hakim ?

Tanya :
Ada seorang perempuan yang ingin menikah, tapi tak disetujui oleh walinya dengan berbagai alasan, misal calon suaminya orang miskin, dll. Bolehkah perempuan tersebut menikah dengan wali hakim?

Jawab :
Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’. Misal anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim) (HSA Alhamdani, Risalah Nikah, hal. 90-91).

satu gereja masuk "ISLAM" atas pertolongan ALLAH

Ada seorang pemuda arab yang baru saja me-nyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan ia mampu mendalaminya. Selain belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam.

Ketika berada di Amerika, ia berkenalan dengan salah seorang Nasrani.Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT memberinya hidayah masuk Islam. Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gerejayang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja.

Semula ia berkeberatan, namun karena ia terus mendesak akhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka